Menurut Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Mustofa Nur, RSBI di tingkat SMP ada dua lembaga , yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Lamongan. Dan sebentar lagi jumlah itu akan ditambah dengan SMP Negeri 1 Babat yang kini sedang dalam proses pengajuan. Sedangkan pada tingkat Sekolah Dasar, SD Negeri Made 4 Lamongan tinggal menunggu Surat Keputusan RSBI. Masih menurut Mustafa, Lamongan memiliki 96 lembaga pendidikan dengan status Sekolah Standar Nasional atau SSN yang terdiri dari 24 SD, 47 SMP, 20 SMA, serta 5 SMK.
Dan yang baru-baru ini di- lounching oleh Bupati Lamongan sebagai RSBI adalah SMA Negeri 1 Lamongan. Dalam pesannya dia mewanti-wanti agar status itu jangan sampai membuat terlena. Sebab ada beban tinggi dan tanggung jawab besar pada masyarakat dan pemerintah. Apalagi Lamongan kini sedang gencar membangun sehingga membutuhkan generasi muda yang handal. Bahkan menurut dia, siswa lulusan RSBI jangan sampai memalukan. Dengan status RSBI berarti semua mutunya harus ditingkatkan termasuk mutu lingkungan dan siswanya. Guru pengajar juga harus belajar lagi, jangan sampai pengetahuannya tidak sebanding dengan status RSBI yang sudah disandang,” ujarnya.
Kegundahan sang Bupati ini sangat wajar, sebab manurut hasil penelitian Hywel Coleman dikatakan bahwa pendidikan pada Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sangat sering diartikan sebagai penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar (SD), penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sangat “berbahaya”. Paling tidak inilah menurut kajian peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris, selama kurun waktu 2009-2010. Hasil penelitian yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh British Council Asia Tenggara berjudul Teaching other Subjects through English in Two Asian Nations: Teacher’s Response to Globalisation ini sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI dan SBI.
Idealnya, catat Hywel, anak harus melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian betul-betul diperkuat dengan bahasa Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibunya di tingkat SD maka dampak negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya. Dalam researchnya dia mengambil sampel penelitian di sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang menggunakan konsep pengajaran bilingual seperti: di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Dan yang ironis menurut Hywel bahwa, tingkat “bahaya” di Indonesia paling memprihatinkan.
Di Korea Selatan misalnya, Hywel mendapati fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilan tersebut mencatat angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negera terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Sehingga menurut banyak pakar pendidikan dikatakan bahwa, institusi pendidikan yang menggunakan konsep dwibahasa (bilingual), yaitu antara bahasa ibu dan bahasa kedua (bahasa Inggris), tidak bisa secepat kilat diaplikasikan pada anak. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label internasional, tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa dukungan sekolah serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat.
Memang sejak awal munculnya, RSBI telah banyak menimbulkan pro dan kontra . Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan bernada menggugatpun banyak sekali. Diantara pertanyaan tersebut adalah apakah sekolah yang ditunjuk (baca:mengajukan diri) menjadi RSBI / SBI sudah siap ? Sebab menurut laporan hampir semua media, ternyata proyek RSBI ini terlalu ‘dipaksakan’ kalau tidak boleh dikatakan diaborsi. Kenapa demikian, sebab kenyataannya antara harapan dan realitasnya justru terbalik. Beberapa indikatornya menurut Akhmad Hidayat adalah: Pertama,kualitas dan pelayanan yang ada tidak menunjukkan bahwa sekolah itu menuju sekolah bertaraf internasional. Kedua, Parameter kelulusan tes masuknya juga sangat subjektif, karena unsur wawancara dinilai dalam bentuk angka yang tidak jelas parameternya apa, serta kualitas pewawancaranya apakah sudah teruji sebagai pewawancara ? Dan Ketiga, Program RSBI / SBI telah menutup kesempatan anak didik yang mempunyai potensi akademis tetapi tidak punya kemampuan finansial yang cukup untuk merasakan bersekolah di sekolah favorit yang dijadikan RSBI / SBI. Kalau demikian adanya, apakah proyek ini sudah sesuai dengan program pemerintah dengan wajib belajar 9 tahun dan sekolah gratis. Sehingga menurut hemat penulis, Pemda dan Departemen Pendidikan agar berhati-hati, dan kalau perlu meninjau ulang program ini. Atau ada baiknya ketika meluncurkan RSBI/SBI hendaknya disiapkan infrastrukturnya yang mapan, seperti gedung baru yang representatif dengan berbagai fasilitasnya termasuk pendingin udara dan fasilitas pembelajaran lengkap dengan teknologi multimedia, komputer dan layar proyektor untuk menampilkan materi ajar berbentuk CD. Sebab ditengarai, selama ini fasilitas itu dibebankan kepada peserta didik. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya SDM (Human Resource) yang berkualitas dan mumpuni.
Dan ternyata keluhan masyarakat luas ini bukan isapan jempol belaka, sebab Kemendinas merespon dengan sangat baik. Terbukti banyaknya keluhan masyarakat soal pungutan besar-besaran (pungli) yang dibebankan kepada siswa di lembaga pendidikan yang melaksanakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) membuat berang Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.“Jangan berperilaku primordial dengan memungut biaya besar-besaran. Itu hanya malah membuat pengkastaan,” kata Mendiknas seusai membuka pekan ilmiah mahasiswa nasional (Pimnas) XIII di GOR Lila Buana, Denpasar, Bali.(Kompas;21/07/2010).
Untuk itu, Mendiknas meminta masyarakat untuk jangan segan-segan melapor jika ada sekolah RSBI yang memungut biaya selangit. Dan saat ini, pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan RSBI. Beberapa hal yang menjadi perhatian ialah proses rekrutmen siswa, akuntabilitas keuangan, prestasi akademik dan persyaratan dasar RSBI. Kita akan usahakan semester genap tahun ini sudah keluar hasilnya sehingga bisa diterapkan pada tahun ajaran 2011-2013,” pungkasnya. Sebab menurut Mendiknas Mohammad Nuh, keempat tolak ukur tersebut meliputi akuntabilitas yakni pendanaan yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selain itu, prestasi sekolah bersangkutan, cara penerimaan siswa baru serta kerjasama dengan pihak luar negeri ratio antara guru dengan jumlah anak didik. Semua tolak ukur tersebut sebagai dasar menentukan lolos tidaknya RSBI menjadi SBI. Hasil evaluasi tersebut diharapkan bisa diumumkan pada Agustus 2010, sehingga bisa menjadi dasar pertimbangan masyarakat dalam memilih sekolah untuk proses belajar mengajar. Evaluasi ini penting, sebab SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional, sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam rumusan Diknas SBI = SNP + X. Standar komponen utama dalam SNP (PP 19/2005) adalah Standar Isi, Proses, Kompetensi lulusan, Pendidik dan Tenaga kependidikan, Sarana & prasarana, Pengelolaan, Pembiayaan, dan Penilaian pendidikan.
“X” merupakan penguatan, pengayaan, perluasan, pendalaman, penambahan dan pengembangan terhadap SNP. Sehingga lulusan (output) SBI diharapkan menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju, dengan tetap berjatidiri Indonesia. SBI juga perlu mencari mitra internasional, sekolah atau lembaga tes/ sertifikasi (IS0) dari USA, Australia, Jerman, Perancis, Jepang, Singapore dan lain-lain yang mutunya telah diakui secara internasional.
Apalagi prinsip-prinsip pengembangan SBI juga tidak ringan. Prinsip itu antara lain: Pertama, Pengembangan SBI berpedoman pada SNP + X; Dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven and battom-up); Kurikulum harus bertaraf internasional, yang ditunjukan oleh isi (content) yang mutakhir dan canggih sesuai dengan Iptek global; Menerapkan MBS dlm mengelola sekolah yang dikelola dengan tatakelola yang baik (mengarah pada standar ISO); Menerapkan PBM yang pro perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan hal-hal baru; Menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan transformatif dan visioner, yaitu kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas, kemana SBI akan dibawa dan bagaimana cara menggerakan warga sekolah untuk mencapai visi yang diinginkan; Memiliki SDM yang profesional dan tangguh, baik guru, kepala sekolah, tenaga tata usaha, komputer, laboran, pustakawan, penguasaan ICT; dan yang terakhir adanya dukungan infrastruktur yang lengkap, relevan, mutakhir, canggih dan bertaraf internasional. Dan kalau perlu dilakukan telaah terhadap sarana dan prasarana yang ada saat ini dan dilakukan modernisasi. Ini penting sebab SBI sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 yang wajib untuk dilaksanakan. Sekalipun dalam penerapannya SBI bisa dikelola oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten maupun masyarakat.
Sebagai ihtitam kita semua berharap semoga pemerintah dan jajaran terkait dibawahnya dapat lebih bijaksana menyikapi masalah RSBI dan SBI ini, karena menyangkut pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan. Dan kepada semua wali murid, marilah kita bergandengan tangan berjuang agar anak cucu kita dapat memperoleh kesempatan sekolah di tempat yang baik secara kualitas dan fasilitas dengan biaya serendah mungkin atas dukungan pemerintah yang sudah mencanangkan anggaran pendidikan 20% dari APBN.
Sabtu, 14 Mei 2011
Sudah Berhasilkah RSBI Di Lamongan??
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Mustofa Nur, RSBI di tingkat SMP ada dua lembaga , yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Lamongan. Dan sebentar lagi jumlah itu akan ditambah dengan SMP Negeri 1 Babat yang kini sedang dalam proses pengajuan. Sedangkan pada tingkat Sekolah Dasar, SD Negeri Made 4 Lamongan tinggal menunggu Surat Keputusan RSBI. Masih menurut Mustafa, Lamongan memiliki 96 lembaga pendidikan dengan status Sekolah Standar Nasional atau SSN yang terdiri dari 24 SD, 47 SMP, 20 SMA, serta 5 SMK.
Dan yang baru-baru ini di- lounching oleh Bupati Lamongan sebagai RSBI adalah SMA Negeri 1 Lamongan. Dalam pesannya dia mewanti-wanti agar status itu jangan sampai membuat terlena. Sebab ada beban tinggi dan tanggung jawab besar pada masyarakat dan pemerintah. Apalagi Lamongan kini sedang gencar membangun sehingga membutuhkan generasi muda yang handal. Bahkan menurut dia, siswa lulusan RSBI jangan sampai memalukan. Dengan status RSBI berarti semua mutunya harus ditingkatkan termasuk mutu lingkungan dan siswanya. Guru pengajar juga harus belajar lagi, jangan sampai pengetahuannya tidak sebanding dengan status RSBI yang sudah disandang,” ujarnya.
Kegundahan sang Bupati ini sangat wajar, sebab manurut hasil penelitian Hywel Coleman dikatakan bahwa pendidikan pada Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sangat sering diartikan sebagai penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar (SD), penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sangat “berbahaya”. Paling tidak inilah menurut kajian peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris, selama kurun waktu 2009-2010. Hasil penelitian yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh British Council Asia Tenggara berjudul Teaching other Subjects through English in Two Asian Nations: Teacher’s Response to Globalisation ini sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI dan SBI.
Idealnya, catat Hywel, anak harus melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian betul-betul diperkuat dengan bahasa Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibunya di tingkat SD maka dampak negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya. Dalam researchnya dia mengambil sampel penelitian di sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang menggunakan konsep pengajaran bilingual seperti: di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Dan yang ironis menurut Hywel bahwa, tingkat “bahaya” di Indonesia paling memprihatinkan.
Di Korea Selatan misalnya, Hywel mendapati fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilan tersebut mencatat angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negera terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Sehingga menurut banyak pakar pendidikan dikatakan bahwa, institusi pendidikan yang menggunakan konsep dwibahasa (bilingual), yaitu antara bahasa ibu dan bahasa kedua (bahasa Inggris), tidak bisa secepat kilat diaplikasikan pada anak. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label internasional, tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa dukungan sekolah serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat.
Memang sejak awal munculnya, RSBI telah banyak menimbulkan pro dan kontra . Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan bernada menggugatpun banyak sekali. Diantara pertanyaan tersebut adalah apakah sekolah yang ditunjuk (baca:mengajukan diri) menjadi RSBI / SBI sudah siap ? Sebab menurut laporan hampir semua media, ternyata proyek RSBI ini terlalu ‘dipaksakan’ kalau tidak boleh dikatakan diaborsi. Kenapa demikian, sebab kenyataannya antara harapan dan realitasnya justru terbalik. Beberapa indikatornya menurut Akhmad Hidayat adalah: Pertama,kualitas dan pelayanan yang ada tidak menunjukkan bahwa sekolah itu menuju sekolah bertaraf internasional. Kedua, Parameter kelulusan tes masuknya juga sangat subjektif, karena unsur wawancara dinilai dalam bentuk angka yang tidak jelas parameternya apa, serta kualitas pewawancaranya apakah sudah teruji sebagai pewawancara ? Dan Ketiga, Program RSBI / SBI telah menutup kesempatan anak didik yang mempunyai potensi akademis tetapi tidak punya kemampuan finansial yang cukup untuk merasakan bersekolah di sekolah favorit yang dijadikan RSBI / SBI. Kalau demikian adanya, apakah proyek ini sudah sesuai dengan program pemerintah dengan wajib belajar 9 tahun dan sekolah gratis. Sehingga menurut hemat penulis, Pemda dan Departemen Pendidikan agar berhati-hati, dan kalau perlu meninjau ulang program ini. Atau ada baiknya ketika meluncurkan RSBI/SBI hendaknya disiapkan infrastrukturnya yang mapan, seperti gedung baru yang representatif dengan berbagai fasilitasnya termasuk pendingin udara dan fasilitas pembelajaran lengkap dengan teknologi multimedia, komputer dan layar proyektor untuk menampilkan materi ajar berbentuk CD. Sebab ditengarai, selama ini fasilitas itu dibebankan kepada peserta didik. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya SDM (Human Resource) yang berkualitas dan mumpuni.
Dan ternyata keluhan masyarakat luas ini bukan isapan jempol belaka, sebab Kemendinas merespon dengan sangat baik. Terbukti banyaknya keluhan masyarakat soal pungutan besar-besaran (pungli) yang dibebankan kepada siswa di lembaga pendidikan yang melaksanakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) membuat berang Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.“Jangan berperilaku primordial dengan memungut biaya besar-besaran. Itu hanya malah membuat pengkastaan,” kata Mendiknas seusai membuka pekan ilmiah mahasiswa nasional (Pimnas) XIII di GOR Lila Buana, Denpasar, Bali.(Kompas;21/07/2010).
Untuk itu, Mendiknas meminta masyarakat untuk jangan segan-segan melapor jika ada sekolah RSBI yang memungut biaya selangit. Dan saat ini, pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan RSBI. Beberapa hal yang menjadi perhatian ialah proses rekrutmen siswa, akuntabilitas keuangan, prestasi akademik dan persyaratan dasar RSBI. Kita akan usahakan semester genap tahun ini sudah keluar hasilnya sehingga bisa diterapkan pada tahun ajaran 2011-2013,” pungkasnya. Sebab menurut Mendiknas Mohammad Nuh, keempat tolak ukur tersebut meliputi akuntabilitas yakni pendanaan yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selain itu, prestasi sekolah bersangkutan, cara penerimaan siswa baru serta kerjasama dengan pihak luar negeri ratio antara guru dengan jumlah anak didik. Semua tolak ukur tersebut sebagai dasar menentukan lolos tidaknya RSBI menjadi SBI. Hasil evaluasi tersebut diharapkan bisa diumumkan pada Agustus 2010, sehingga bisa menjadi dasar pertimbangan masyarakat dalam memilih sekolah untuk proses belajar mengajar. Evaluasi ini penting, sebab SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional, sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam rumusan Diknas SBI = SNP + X. Standar komponen utama dalam SNP (PP 19/2005) adalah Standar Isi, Proses, Kompetensi lulusan, Pendidik dan Tenaga kependidikan, Sarana & prasarana, Pengelolaan, Pembiayaan, dan Penilaian pendidikan.
“X” merupakan penguatan, pengayaan, perluasan, pendalaman, penambahan dan pengembangan terhadap SNP. Sehingga lulusan (output) SBI diharapkan menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju, dengan tetap berjatidiri Indonesia. SBI juga perlu mencari mitra internasional, sekolah atau lembaga tes/ sertifikasi (IS0) dari USA, Australia, Jerman, Perancis, Jepang, Singapore dan lain-lain yang mutunya telah diakui secara internasional.
Apalagi prinsip-prinsip pengembangan SBI juga tidak ringan. Prinsip itu antara lain: Pertama, Pengembangan SBI berpedoman pada SNP + X; Dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven and battom-up); Kurikulum harus bertaraf internasional, yang ditunjukan oleh isi (content) yang mutakhir dan canggih sesuai dengan Iptek global; Menerapkan MBS dlm mengelola sekolah yang dikelola dengan tatakelola yang baik (mengarah pada standar ISO); Menerapkan PBM yang pro perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan hal-hal baru; Menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan transformatif dan visioner, yaitu kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas, kemana SBI akan dibawa dan bagaimana cara menggerakan warga sekolah untuk mencapai visi yang diinginkan; Memiliki SDM yang profesional dan tangguh, baik guru, kepala sekolah, tenaga tata usaha, komputer, laboran, pustakawan, penguasaan ICT; dan yang terakhir adanya dukungan infrastruktur yang lengkap, relevan, mutakhir, canggih dan bertaraf internasional. Dan kalau perlu dilakukan telaah terhadap sarana dan prasarana yang ada saat ini dan dilakukan modernisasi. Ini penting sebab SBI sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 yang wajib untuk dilaksanakan. Sekalipun dalam penerapannya SBI bisa dikelola oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten maupun masyarakat.
Sebagai ihtitam kita semua berharap semoga pemerintah dan jajaran terkait dibawahnya dapat lebih bijaksana menyikapi masalah RSBI dan SBI ini, karena menyangkut pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan. Dan kepada semua wali murid, marilah kita bergandengan tangan berjuang agar anak cucu kita dapat memperoleh kesempatan sekolah di tempat yang baik secara kualitas dan fasilitas dengan biaya serendah mungkin atas dukungan pemerintah yang sudah mencanangkan anggaran pendidikan 20% dari APBN.